Seri Kuliah Umum FMIPA – ITB: Tantangan Sains untuk Masa Depan
Bandung, FMIPA.itb.ac.id. -Sains adalah ilmu pengetahuan yang peradabannya kian hari kian meningkat. Banyak penelitian dilakukan untuk terus menggali sains juga kemanfaatannya di masa depan. Berbicara mengenai sains, lantas apa saja tantangan sains untuk masa depan? Hal ini dibahas dalam Seri Kuliah Umum Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) – Institut Teknologi Bandung (ITB) pada Sabtu, 9 Maret 2019. Acara seri kuliah umum ini merupakan acara rutin FMIPA yang dilaksanakan setiap tiga bulan sekali. Pada kuliah umum kali ini diisi oleh tiga pemateri dari program studi Astronomi, Fisika, dan Matematika. Acara ini dimoderasi oleh Ferry Mukharradi, S. Si., M. Si. dari program studi Astronomi. Kuliah umum dilaksanakan mulai pukul 08.30 – 11.30 WIB yang bertempat di Auditorium Campus Center (CC) Timur, ITB. Peserta acara ini tersebar dari berbagai kalangan, yaitu: mahasiswa dari beberapa program studi di ITB, mahasiswa dari luar ITB, serta dosen ITB.
Sebagai pembuka acara, moderator membacakan pedoman keamanan di kampus ITB serta rincian acara yang dilangsungkan. Kemudian, acara dilanjutkan dengan sambutan dari koordinator seri kuliah umum FMIPA – ITB, Prof. Hendra Gunawan, Ph.D. Beliau memaparkan bahwa tiga pembicara pada seri ini adalah pembicara ke-35, 36, dan 37 semenjak tahun 2015. Setiap seri kuliah umum akan diunggah videonya di akun youtube FMIPA-ITB. Prof. Hendra Gunawan, Ph.D. juga memperkenalkan ketiga pemateri pada seri kuliah umum ini, yaitu Dr. Dhani Herdiwijaya, M.Sc., Dr. Agustinus Agung Nugroho, dan Dr. Nuning Nuraini. Di akhir sambutannya, beliau dengan resmi membuka acara seri kuliah umum ini.
Acara dilanjutkan dengan pemaparan materi dari pembicara pertama, Dr. Dhani Herdiwijaya, M.Sc. dengan tema, “Cuaca Antariksa: Dampaknya terhadap Teknologi dan Keseharian”. Sebagai pendahuluan, beliau memaparkan bahwa sistem alam semesta saling terkait, dari skala atom sampai galaksi. Bumi dan semua planet di Tata Surya dipengaruhi oleh matahari. Dalam dimensi kecil bumi, interaksinya dipengaruhi oleh variabilitas lingkungan antariksa. Pemahaman tentang cuaca dan iklim harus dapat megintegrasikan faktor daratan, lautan, atmosfer, dan antariksa. Pada abad ke-18, R. Carrington dan R. Hodgson mengamati ledakan matahari. Kemudian beberapa hari kemudian muncul Aurora yang kemudian juga diikuti oleh peristiwa terputusnya jaringan telegraf di Inggris, Eropa, dan Amerika. Dalam hal ini kita ketahui bahwa komunikasi, transportasi, dan navigasi sehari-hari tidak terlepas dari Global Positioning System (GPS). Sistem ini dikembangkan dengan investasi yang sangat besar. Sehingga, aktivitas matahari di atas berdampak sangat besar terhadap cuaca antariksa, yang tentu saja memengaruhi aktivas manusia.
Matahari mempunyai aktivitas yang periode siklusnya antara 9–13 tahun. Hal ini yang akan menentukan iklim antariksa. Di dalam matahari juga terdapat bintik, yang dikenal dengan Bintik Matahari (sunspoti). Bintik inilah yang menentukan maksimum atau minimumnya siklus aktivitas matahari. Pada siklus maksimum, jumlah Bintik Matahari akan bertambah banyak sedangkan pada siklus minimum, jumlah Bintik Matahari sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali. Ketika siklus aktivitas Matahari maksimum, kemungkinan bisa terjadi ledakan Matahari (flare) yang kemudian juga memungkinkan terjadinya Coronal Mass Ejection (CME) atau lontaran massa korona. CME tersebut mengandung radiasi elektromagnetik, plasma energi tinggi, medan magnet, dan partikel Matahari. Peristiwa flare dan CME yang cukup besar pernah terjadi pada 6 September 2017.
Kembali berbicara mengenai cuaca antariksa, dampaknya yang ekstrem dari Badai Matahari sangat luas yang mengakibatkan kerugian ekonomi yang besar. Contohnya pada 2003 saat siklus aktivitas Matahari maksimum, mengakibatnya terbakarnya satelit. Semua komponen luar dan permukaan satelit rawan kerusakan akibat gangguan cuaca antariksa. Untuk Indonesia, biasanya kita mengambil data dari satelit milik Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Ketika badai Matahari terjadi juga dapat membahayakan dunia penerbangan karena adanya bahaya radiasi bagi awak pesawat dan antariksawan. Selain itu, dalam dunia kedokteran pun badai matahari dapat memengaruhi tingkat stres seseorang, serta mengganggu kemampuan navigasi dari burung dan makhluk hidup lain dengan sistem kompas biologis. Hingga saat ini kita belum dapat memprediksi cuaca antariksa dikarenakan pemahaman akan Matahari yang masih minim.
Pemaparan materi kedua dilanjutkan oleh Dr. Agustinus Agung Nugroho dengan tema, “Memanen Tenaga Listrik Menggunakan Material Topologi.” Tenaga listrik dapat dihasilkan dari berbagai sumber daya, seperti fluida, cahaya matahari, panas, getaran, dan wireless. Tantangan teknologi masa depan adalah pemprosesan dan transmisi data yang cepat dan penyimpanan data yang besar dengan pemakaian tenaga listrik yang kecil, berbentuk tipis atau fleksibel dan ringan. Sains untuk teknologi baru didasari oleh teori kuantum. Topik yang dibahas oleh Dr. Agustinus Agung Nugroho adalah teori kuantum untuk material. Material terbagi menjadi tiga jenis, yaitu: logam, semikonduktor, dan isolator. Jenis material yang dibahas adalah material topologi. Namun, sebelumnya beliau memperkenalkan konsep topologi terlebih dahulu. Konsep topologi didasari oleh Karakteristik Euler, yaitu:
V – E + F =2 – 2G = Χ(G)
dengan V adalah Vertices, E adalah Edges, F adalah Forces, dan G adalah banyaknya lubang. Dalam hal ini dijelaskan bahwa karakteristik tidak berubah meskipun bentuknya berubah. Fenomena topologi yang ada dalam kehidupan salah satunya adanya tornado dan hurricane. Bentuk fenomena topologi ini vertex, yang disimulasikan dengan arah anak-anak panah begerak melingkar yang satu waktu semua anak panah akan mengarah ke dalam dan satu waktu lainnya mengarah ke luar. Selain vertex ada pula anti-vertex yang bergerak sebaliknya. Dari bentuk fenomena ini muncul teori bernama Berezinskii–Kosterlitz–Thouless Transition. Teori ini mengatakan jika vertex dan anti-vertex bertemu, maka fenomena topologi tersebut akan berhenti.
Pembicara terakhir adalah Dr. Nuning Nuraini dengan tema, “Peran Matematika dalam Menjawab Tantangan Masa Depan.” Epidemiologi dalam kesehatan dapat dikatakan pula sebagai pendeteksian penyakit. Terdapat beberapa istilah dalam epidemiologi, pertama epidemik berarti penyakit menular yang kasusnya di atas normal, outbreak berarti wabah, endemik berarti penyakit di tempat yang bertahan konsisten, dan pandemik berarti epidemik yang terjadi serempak dan melewati batas suatu daerah atau negara. Dr. Nuning Nuraini juga menjelaskan beberapa cuplikan film NUMB3RS yang alur ceritanya didasari oleh matematika epidemiologi. Model matematika epidemiologi ini dapat berupa model kompartemen dinamis, model stokastik, mikro atau makro simulasi, dan lain-lain. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Sir Ronald Ross yang mendapatkan perhargaan Nobel pada 1902.
Dengan matematika epidemiologi kita dapat mengusut suatu penyakit yang menjangkit di suatu masyarakat, model yang biasa digunakan adalah model Susceptible, Infected, Recovered (SIR). Sebagai contoh, pengaplikasian model SIR dilakukan pada data diare bulanan DKI Jakarta pada 2015. Sejarah juga mencatat bahwa Indonesia merupakan negara peringkat kedua di antara 30 negara wilayah endemis terkait penyakit Demam Berdarah (DBD). Menurut Dr. Nuning Nuraini, tantangan yang masih terbuka saat ini adalah pengaruh faktor-faktor lain yaitu: mobilitas, infeksi yang terjadi di dalam tubuh, dan model internal. Pengembangan model ini tentu saja sangat bermanfaat bagi dinas kesehatan dan pemerintah terkait untuk melakukan pencegahan dan penanganan yang tepat. [Reporter : Muthia, Editor : Kurnia].