Mengintip Kisah Lulusan Pertama Program Studi Doktor Rekayasa Nuklir ITB, Dr. Rasito, M.Si.
BANDUNG, fmipa.itb.ac.id, –Rasito berhasil menuntaskan sidang Program Studi Doktor Rekayasa Nuklir pada hari Selasa, 23 Juli 2024 lalu di bawah bimbingan Prof. Dr. Eng. Ir. Sidik Permana, S.Si., M.Eng., Prof. Dr. Zaki Su’ud, M.Eng., dan Dr. Alan Maulana (BRIN). Seperti yang telah diketahui, Program Studi Doktor Rekayasa Nuklir ITB dibuka pada tahun 2019 dan Dr. Rasito menjadi lulusan pertama dari program studi ini.
Dr. Rasito menyampaikan rasa syukur bisa lulus dari program studi Doktor Rekayasa Nuklir sekaligus menjadi lulusan pertama dan mendapatkan predikat cumlaude dengan melakukan riset disertasi di bidang spektrometer neutron. Beliau mengatakan, “Rekayasa Nuklir itu bidang yang relatif luas, saya mengerjakan penelitian dari satu sisi saja yaitu instrumentasi nuklir untuk mengukur energi neutron.”
Dokumentasi Dr. Rasito, M.Si. bersama Tim Pembimbing
Penelitian disertasi beliau berjudul “Pengembangan Spektrometer Neutron Moderator Tunggal Berbasis Detektor Pasif”. Spektrometer neutron memiliki peran penting yaitu untuk mengukur spektrum energi neutron. Neutron merupakan partikel tak bermuatan penyusun inti atom yang dihipotesakan oleh Rutherford (1920) dan dibuktikan secara eksperimental oleh Chadwick (1932). Radiasi neutron memiliki karakter sangat mudah bereaksi dengan inti atom dan menghasilkan inti atom baru, sehingga penemuan neutron menjadikan sains dan teknologi nuklir mengalami perkembangan pesat. Dr. Rasito menjelaskan ada dua aspek terkait dengan neutron, yaitu aspek pemanfaatan dan keselamatan. Aspek pemanfaatan adalah memanfaatkan interaksi neutron dengan materi untuk berbagai bidang aplikasi, sedangkan aspek keselamatan adalah menghitung dosis radiasi yang dihasilkan dari interaksi neutron dengan tubuh manusia. Karena interaksi neutron sangat bergantung pada energi, maka kemampuan mengukur energi neutron secara tepat akan menghasilkan apllikasi neutron yang optimal dan perhitungan dosis radiasi neutron yang akurat. Oleh sebab itu, pengembangan spektrometer ini merupakan bagian dari upaya mencari solusi perangkat yang mampu mengukur energi neutron secara akurat dan juga praktis dalam penggunaan, diharapkan pula dapat dibuat menggunakan bahan lokal dan biaya murah.
Sebelum mengambil studi doktoral rekayasa nuklir, Dr. Rasito menempuh pendidikan S1 dan S2 di bidang fisika. Menurut beliau, fisika merupakan pengetahuan dasar yang perlu dimiliki ketika ingin berkarir sebagai fisikawan maupun engineer. Secara umum bidang rekayasa nuklir memerlukan pengetahuan mengenai ilmu-ilmu dasar seperti fisika, kimia, matematika dan komputasi. Adapun keputusan mengambil studi di bidang rekayasa nuklir adalah karena saat ini sedang bekerja sebagai peneliti di Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) yang menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dimana kegiatan riset yang digeluti adalah teknologi berkas nuklir. Meskipun begitu Dr. Rasito merasa tidak perlu memilih antara profesi fisikawan dan nuclear engineer karena tetap bisa menjadi keduanya.
Dr. Rasito juga menyatakan bahwa potensi teknologi nuklir di Indonesia masih kurang dieksplorasi. “Literasi masyarakat mengenai nuklir juga masih sangat terbatas, sehingga opini tentang nuklir banyak yang tidak tepat dan cenderung negatif. Contohnya dalam pembahasan PLTN, banyak orang yang masih mengaitkannya dengan bom atom dan tragedi Chernobyl. Sementara itu aspek rekayasa nuklir sangat luas, tidak hanya di bidang energi, tapi juga di bidang medik dan industri yang cukup berkembang. Melihat perkembangan sains dan teknologi nuklir saat ini, selayaknya mendorong kita untuk dapat menguasainya, agar tidak menjadi konsumen belaka. Oleh karenanya perlu ada riset berkelanjutan yang fokus pada teknologi kunci ini.” Beliau berharap besar pada calon-calon peneliti fisika dan rekayasa nuklir untuk mengambil peran tersebut.
Selain itu, menurutnya hal yang harus dimiliki oleh mahasiswa doktoral adalah kemampuan melakukan penelitian secara kolaborasi untuk menghasilkan novelty (kebaruan). Hal ini menuntut intensitas yang tinggi untuk membaca dan me-review jurnal-jurnal internasional, sehingga bisa melihat sebaran “puzzle-puzzle” hasil penelitian yang ada dan menentukan “puzzle kosong” dimana penelitian kita akan berkontribusi. Salah satu kontribusi utama peneliti adalah publikasi, sehingga menulis artikel penelitian dan mempublikasikannya di jurnal internasional adalah kegiatan yang harus dibiasakan. Bagi mahasiswa doktoral, publikasi kadang menjadi beban tersendiri selain menyelesaikan disertasi. Dr. Rasito memberikan tip agar survive dalam publikasi adalah dengan menjauhi 2B (Bosan dan Baper). Artinya jangan bosan untuk menulis artikel hasil penelitian dan mengirimkannya ke jurnal. Dan jangan baper (terbawa perasaan) ketika artikel kita di-reject, misalnya. Mendapatkan kritik, saran, bahkan penolakan harus dianggap biasa, karena kita hidup dalam ruang kebolehjadian. Semua itu merupakan hal yang wajar dan tentunya akan membuat kita menjadi lebih baik.”
Semoga kisah Dr. Rasito sebagai lulusan pertama Program Studi Doktor Rekayasa Nuklir ITB ini bisa menjadi inspirasi kita dalam mengambil peran. [Siti Komariah]